Monday, May 6, 2013

Intervensi SKK Migas dalam Perundingan PKB KKKS

Perundingan PKB
pihak ketiga??
Perundingan PKB adalah perundingan bipartit antara Perusahaan dan Pekerja tanpa campur tangan dari pihak manapun termasuk dari Pemerintah. Dalam hal ini Pemerintah hanya memberikan rambu-rambu agar dalam pelaksanaannya tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Perundingan PKB pada perusahaan MIGAS selain melibatkan Institusi Kemenakertrans juga melibatkan SKK Migas yang sebelumnya dikenal dengan BP Migas. Review pada Kemenakertrans lebih menitik beratkan pada ketentuan normatif peraturan perundang-undangan sementara review dari SKK Migas lebih menitikberatkan pada dampak anggaran/cost impact.

Pemerintah dalam hal ini Kemenakertrans dan SKK Migas bukan merupakan pihak dalam perundingan PKB. Keterlibatan SKK Migas belakangan ini yang memberikan batasan atas paket remunerasi yang selama ini diterapkan di Industri MIGAS berpotensi memberikan dampak negatif terhadap tata kelola bisnis MIGAS di tanah air.

Meningkatnya biaya operasi dan menurunnya produksi MIGAS di saat yang bersamaan menyebabkan perhatian Pemerintah atas biaya operasi (cost recovery) menjadi meningkat. Terlepas bahwa dua hal tersebut merupakan relasi sebab-akibat ataupun tidak, pada kenyataanya fakta tersebut menjadi salah satu pertimbangan Pemerintah dalam menerbitkan beberapa kebijakan di sektor MIGAS. Pemerintah melalui BPK/BPKP melakukan audit atas pembebanan biaya operasi MIGAS yang dikembalikan ke Perusahaan KKKS (cost recovery). Wujud nyatanya dengan diterbitkannya kebijakan sebagai berikut:
  • Permen ESDM no. 22 th 2008 tentang jenis biaya kegiatan hulu MIGAS yang tidak dapat dibebankan ke biaya operasi.
  • Terbitnya PP 79/2010 tentang biaya operasi MIGAS/cost recovery
Nuansa yang kental pada terbitnya 2 kebijakan itu antara lain:
  • Jika ada biaya yang tidak ada kaitan langsung dengan operasional maka terancam non cost recovery
  • Jika ada biaya dalam hal ini komponen upah yang nominalnya di atas normative dikatagorikan non-cost recovery
Sedangkan dalam peraturan perundangan yang lain disebutkanbahwa kesejahteraan pekerja beserta keluarganya adalah satu kesatuan
  1. UU no.21 Th 2000 tentang Serikat Pekerja pada bagian Pertimbangan, pasal 1 ayat 1, pasal 4 ayat 1, pasal 27 ayat b bahwa Pemerintah mengatur bahwa fungsi dan tujuan dibentuknya Serikat Pekerja adalah untuk memberikan perlindungan atas hak dan kepentingan serta meningkatkan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya.
  2. Pada UU no.13 tahun 2003 kata keluarga disebutkan tidak kurang dari 14 kali dalam naskah UU 13/2003, hal ini cukup bagi kita untuk menyimpulkan bahwa perhatian Pemerintah terhadap pekerja dan keluarganya dalam UU Ketenagakerjaan merupakan hal yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
  3. PP no.8 Th 1981 tentang Perlindungan Upah mengatur bahwa definisi upah adalah sebagai kompensasi atau imbalan atas hasil kerja yang diberikan kepada pekerja dan keluarganya,
Kaidah hak dan kewajiban pada normative:
Jika Peraturan perundang-undangan mengatur tentang hak maka yang diatur adalah hak minimal: contoh yang diatur Upah Minimum Regional (UMR) artinya jika Pengusaha dan Pekerja berunding dalam penentuan upah maka upah yang diatur harus diatas normative atau minimal sama dengan Upah minimum yang diterbitkan oleh Pemerintah, dan jika diatur dibawah normative maka menjadi batal demi hukum.

Jika Peraturan perundang-undangan mengatur tentang Kewajiban maka yang diatur adalah kewajiban maksimal. Contoh yang diatur adalah kewajiban jam kerja maksimal dalam sehari, kewajiban hari kerja dalam seminggu dan lain-lain. Artinya jika Pengusaha dan Pekerja berunding dalam penentuan kewajiban maka yang diatur harus lebih rendah atau minimal sama dengan kewajiban maksimal yang ditetapkan Pemerintah, dan jika diatur diatas normative maka menjadi batal demi hukum.

Kompetitivenes remunerasi di industry MIGAS
Industri MIGAS adalah industry strategis Negara yang menyumbang sekitar 30% dari pendapatan Negara merupakan industry yang dikelola dengan Resiko yang tinggi, teknologi tinggi, biaya tinggi dan predikat lainnya. Konsekuensi dari beberapa aspek tersebut yang menjadikan pengupahan pekerja di sector MIGAS adalah salah satu yang tertinggi di Indonesia dan di dunia.

Dari beberapa aspek pengupahan, kompetitifnes menjadi salah satu instrument penting dalam rangka mempertahankan tenaga kerja agar tidak lompat ke Perusahaan lain di dalam negri maupun ke luar negri. Kompetitifnes sudah menjadi kaidah/hukum alam artinya jika pengupahan di suatu tempat tidak kompetitif maka dengan sendirinya pekerja akan berpindah ke perusahaan yang memberikan pengupahan lebih kompetitif.

“If you give peanuts you get monkeys” adalah salah satu idiom yang mengemuka dalam hal kompensasi dan benefit. Kalau Perusahaan ingin berinvestasi pada human capital maka Perusahaan tidak dapat memberikan hal yang kecil untuk mendapatkan pekerja yang berpotensial / skilled employee. Hal inilah yang akan terjadi jika kita memberikan remunerasi yang tidak kompetitif bagi pekerja MIGAS maka Pekerja MIGAS Indonesia berpotensi eksodus ke Timur Tengah atau Negara lainnya yang dapat menghargai kompetensi dan pengalaman mereka. Sehingga sementara Negara lain mendapatkan 1st class employee Indonesia dan yang tinggal di Indonesia mungkin hanya tenaga kerja kelas-2 atau bahkan kelas-3 yang akan mengoperasikan Industri MIGAS di Indonesia. Padahal Industri ini sekali lagi sangat strategis bagi Negara yaitu kontributor signifikan dalam pendapatan negara.

Kaitan antara sistem pengupahan dengan Kemampuan Perusahaan (Company Affordability)
Suatu sistem Pengupahan selain mengakomodir kaidah intenal equity/fairness/non deskriminasi, externally competitive, juga harus mempertimbangkan company affordability. Tidak bijak jika ada Perusahaan MIGAS yang masih dalam tahap explorasi menerapkan tingkat remunerasi yang sama dengan Perusahaan MIGAS yang sudah pada tahap produksi. Juga tidak bijak jika ada Perusahaan MIGAS dengan produksi yang hanya ratusan barel equivalen perhari menerapkan sistem remunerasi dengan Perusahaan MIGAS yang produksinya puluhan atau bahkan ratusan ribu barrel equivalen perhari. Suatu Perusahaan tentunya harus mempertimbangkan kemampuan Perusahaan dalam memberikan paket remunerasi yang didasari diantaranya oleh: jumlah produksi MIGAS, revenue bagi negara dan efisiensi Perusahaan itu sendiri.

Dalam hal ini SKK Migas dapat membuat penggolongan KKKS dengan mempertimbangkan beberapa aspek tersebut tentunya dengan orientasi kelanjutan bisnis MIGAS di Perusahaan itu sendiri.

Kesimpulan dan saran
Pemberian paket remunerasi bagi pekerja dan keluarganya telah sejalan dengan peraturan-perundang-undangan, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa pemberian paket remunerasi yang diberikan kepada keluarga pekerja menjadi tidak terkait dengan kegiatan operasi MIGAS. Paket remunerasi tersebut masuk dalam suatu kantong anggaran Personnel Cost, yang prosentase nya dalam biaya operasi sudah cukup rendah ditambah lagi biaya operating cost/cost perbarel di Indonesia cukup murah yaitu setara 10 USD/barel.

Upaya penghematan yang dilakukan pada personnel cost dalam hal ini pemberian benefit kepada keluarga pekerja berpotensi membuat upaya employee retaining program di Industri MIGAS Indonesia menjadi kontra produktif dan semakin mendorong pekerja untuk eksodus ke luar negeri.

Langkah BPK/KPK dalam menyorot benefit yang diberikan kepada keluarga pekerja menjadi didefinisikan tidak berkaitan dengan operasional terlalu premature dan sangat berpotensi misleading

Langkah BPK/KPK yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah melalui Kementrian ESDM c.q SKK Migas dalam mengurangi benefit yang diberikan kepada Pekerja dan keluarganya tidak sejalan dengan Peraturan perundang-undangan dan tidak sejalan dengan upayapengelolaan Industri MIGAS yang baik dimana memperhatikan kaidah pengupahan bagi pekerja yang bekerja di Industri  ini.

Pengaturan dan pelarangan pada teknis pembebanan biaya kegiatan operasi MIGAS yang terlalu detil dan rigid berpotensi kontra produktif terhadap upaya peningkatan pendapatan negara dari sektor MIGAS.

Intervensi SKK Migas dalam Perundingan PKB di Perusahaan MIGAS tidak sejalan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, olehkarenanya intervensi tersebut patut untuk ditolak dan memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada para pihak dalam perundingan yaitu Perusahaan dan Pekerjanya untuk berunding dengan tetap memperhatikan aspek optimalisasi anggaran yang mengakomodir kaidah anggaran yang efisien dan efektif.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons