Saturday, September 28, 2013

Bedah buku “EKONOMI MIGAS” Tinjauan Aspek Komersial Kontrak di Industri Hulu Migas

Acara bedah buku “EKONOMI MIGAS” ini di gagas oleh SPNTI dalam rangka untuk memberikan wawasan yang lebih dalam tentang dunia industri migas tentang jenis jenis kontraknya, model PSC, cadangan migas, tata kelola migas, perbandingan dengan industri migas di luar negeri serta proyeksi masa depan industri migas. Target dari acara ini adalah anggota SPNTI, hal ini sehubungan dengan dinamika akan berakhirnya kontrak blok mahakam pada tahun 2017. Acara bedah buku ini dilaksanakan pada hari jum'at tanggal 27 Sept 2013, bertempat di gedung OFL (Ruang Handil) Balikpapan.
bedah buku "Ekonomi Migas" oleh Bpk Benny Lubiantara
Penulis buku: Benny Lubiantara
Ringkasan oleh: Bpk Ganda (SPNTI)
Tanpa basa-basi, pak Benny dalam Bab 1 langsung memulai bahasannya dengan secara ringkas menguraikan sejarah kontrak-kontrak migas.
Jenis Kontrak migas ini mengerucut menjadi 3 (tiga), yaitu: Kontrak Konsesi, Kontrak bagi hasil (PSC), dan Kontrak Servis berikut elemen-elemen dalam struktur kontrak migas, seperti: luas area, durasi kontrak, pengembangan sebagian wilayah, rencana kerja, bonus, royalty, cost recovery, profit share, corporate income taxes, pajak lainnya, Domestic Market Obligation (DMO), ring fencing, partisipasi pemerintah, dan komersialitas. (hal.15).

Pada Bab II diuraikan Kontrak Bagi Hasil (PSC) di Indonesia, sejarahnya sejak kemunculannya hingga beberapa generasi sekarang ini. Diuraikan juga aspek-aspek akuntansi perminyakan dan PSC di Indonesia. (hal 54). …

Ada diagram alir Perhitungan PSC Indonesia berikut penjelasan ringkasnya termasuk perhitungan arus kas kontraktor dan perhitungan keekonomian proyek. (hal.78).
 
Bab III membahas Cadangan Migas dan  Enhanced Oil Recovery, tentu ke aspek keekonomiannya.
 
Bab IV berisi analisis keekonomian model kontrak migas dari perpektif Negara, termasuk mencari model kontrak yang cocok.
 
Salah satu bab yang menarik adalah Bab V Tata Kelola Industri Migas. Bab ini dimulai dengan sub-bab yang menantang: Perlukah Pemisahan Fungsi regulasi dan Fungsi Bisnis?
Segitiga Kebijakan-Regulasi-Bisnis ditampilkan dengan beberapa pola antara pemisahan antar sudut atau ada salah satu kaki segitiga yang dikuasai tetapi kaki yang lain terpisah.
Diberikan beberapa contoh praktik/pengalaman tata kelola, mulai dari Brasil, Norwegia, Venezuela, Malaysia, Arab Saudi.
Dikutip juga hasil penelitian soal korelasi antara model tata kelola dengan kinerja industri migas suatu negara.
Dipaparkan juga perkembangan kontrak hulu migas di beberapa negara, seperti Aljazair, Irak, Iran, Venezuela, Bolivia, Brasil, Norwegia. (hal.130).
 
Bab VI tidak kalah menarik, yaitu Perusahaan Migas Nasional (NOC) dan Internasional (IOC). Diperkenalkan istilah lain selain NOC, yaitu State-Owned Oil Company.
Disampaikan bahwa NOC adalah pengendali 90% cadangan dan 70% produksi migas dunia.
Ada tabel menarik: Ranking Perusahaan Migas berdasarkan Cadangan Migasnya. (hal.149).
Dibahas juga strategi pengembangan NOC, perlunya strategi pemerintah terhadap NOC, dan kecenderungan hubungan antara NOC dan IOC.
 
Selanjutnya, seperti melanjutkan isi Bab IV, Bab VII mengulas Stabilitas dan Dinamika Kontrak Migas.
 
Bab VIII mestinya menarik para pemerhati bisnis Migas Nasional. Karena pada bab  ini diuraikan pandangan penulis buku ini terhadap beberapa kasus kontrak migas di Tanah Air. Meski serba ringkas, pembaca dapat menjumpai kasus Cost Recovery (hal.172), ekspor LNG dari Tangguh (hal.176), PSC Gross (model tanpa cost recovery) (hal.180), dilema perpanjangan kontrak (hal.186), biaya pengembangan komunitas sekitar dan cost recovery (hal.190), cost recovery diganti tunai (hal.193).
Penulis menambahkan beberapa usulan untuk perbaikan.
Bab ini ditutup dengan contoh sukses industri Migas Brasil (hal.203).
Kata-kata kunci untuk bab ini adalah ”one size fits all Models does not exist”. (hal.170)
 
Bab IX menyoroti dinamika harga migas dunia termasuk penjelasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Ada sub-bab menarik, yaitu tentang harga minyak mentah Indonesia dan kaitan antara pasar finansial dan harga minyak. (hal.219).
 
Bab XI dan XII mengulas manajemen keuangan/pembiayaan industri hulu migas, termasuk manajemen aset migas, pembiayaan proyek, opsi-opsi pembiayaan dalam tahap-tahap kegiatan hulu migas, juga sumber pembiayaannya dari mana.
 
Buku ini dipungkasi dengan visi penulisnya tentang masa depan industri migas yang dijabarkannya dalam bab XII.
***
 
Buku ini kaya akan referensi. Setiap bab ditopang oleh referensi dari berbagai sumber, baik dari buku, artikel, laporan, komunikasi pribadi dengan nara sumber, undang-undang, PP, hingga tulisan di blog. Tulisannya enak diikuti bahkan bagi mereka yang awam.
 
Khusus bagi pekerja Migas, buku ini bisa menjadi pijakan untuk memandang industri tempat ia bekerja dari pandangan helikopter. Itu bisa sangat membantu positioning pekerja Migas dalam bersikap atas dinamika kontrak yang dialami perusahaan tempat ia bekerja.
Jika boleh mengusulkan, penulis bisa menambahkan satu bab lagi tentang hal ini. Penulis sudah menyinggungnya sedikit pada Bab I hal.5: ..”Paling tidak, ada empat faktor yang membuat industri hulu migas berbeda dengan industri lainnya, antara lain: pertama, lamanya waktu antara saat terjadinya pengeluaran (expenditure) dengan pendapatan (revenue), kedua, keputusan yang dibuat berdasarkan risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih, ketiga, sektor ini memerlukan investasi biaya kapital yang relatif besar, keempat, dibalik semua risiko tersebut, industri migas juga menjanjikan keuntungan yang sangat besar.
Risiko tinggi, penggunaan teknologi canggih, dan sumber daya manusia terlatih serta besarnya kapital yang diperlukan, ….”
Faktor SDM ini sangat jarang dibahas dalam berbagai kesempatan.
 
Pembahasan buku ini juga terkesan a-politis, dalam artian berusaha mendudukkan aspek komersial kontrak migas murni bisnis tanpa campur tangan politik, baik dari Negara maupun perusahaan. Beberapa contoh yang disampaikan, seperti Brasil dan Norwegia (yang sukses) dan Rusia (yang gagal), sebenarnya secara tidak langsung menunjukkan ada faktor itu dalam industri ini. Di Indonesia, walaupun disebut-sebut sebagai perintis model PSC, bongkar pasang tata kelola telah dilakukan dan kita semua mengetahui seperti apa kondisi tata kelola migas Indonesia saat ini. Disamping ada campur tangan berbagai pihak, ada faktor lain yang seperti sudah menjadi ciri khas negeri ini, yaitu: korupsi yang masih merajalela. Jika ada edisi revisi, penulis bisa menambahkan satu bab khusus tentang Tata Kelola Migas Indonesia, sejarah dan tantangannya.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons