Tulisan dari bapak Rovicky
disalin dari : rovicky.wordpress.com
Lepas dari persoalan interpretasi dan pemahaman istilah “dikuasi” dalam pasal 33 UUD 1945. Pengelolaan migas di Indonesia ini telah berkembang lebih dari seabad yang lalu. Siapa saja yang mengelola (mencari, menemukan dan memproduksi) dan bagaimana perubahannya di dongengkan Prof (emeritus) Koesoemadinata dibawah ini.
Diskusi awal di IAGI-net terpicu oleh pernyataan dari salah satu praktisi migas membuat Pak Koesoema untuk kembali mengorek sejarah.
Awal Penguasaan Migas.
UUD-45 itu kan disusun zaman Jepang oleh para cendekiawan yang pada waktu itu cenderung sosialistis (bukan komunis) dan nasionalist. Kecenderungan ini bukan saja di Indonesia tetapi juga di Europa, bahkan di Amerika Serikat (a.l penulis Hemingway, yang ikut berjuang di Sepanyol dengan para sosialis melawan fasisme). Pancasila sendiri juga bersifat sosialistis . Marhaenisme yang dianut bung Karno juga bersifat sosialistis yang anti kapitalisme dan anti komunisme.
Maka setelah Indonesia merdeka terutama setelah pada tahun 1958 kita kembali ke UUD-45, maka banyak perusahaan asing khususnya semua perusahaan Belanda (termasuk perkebunanan, bahkan pabrik roti dan toko2) dinasionalisasi apalagi dengan dalih Trikora dan terjadi exodus orang wna (WN Belanda).
Perusahaan Inggris (a.l. BPM Shell, walaupun sahamnya sebagaian saham Belanda) dan Amerika (Caltex, Stanvac) tidak ikut dinasionalisasi karena kepentingan politik untuk dukungan merebut Papua. Juga perusahaan tambang Timah di Bangka Belitung, emas di Cikotok dan bauksit di Kijang dan batubara di Sawahlunto dan Bukit Asam semua dinasionalisasi menjadi PN Timah, PN Aneka Tambang, PN Batubara. Jadi pada zaman itu sudah terjadi nasionalisasi sumber alam Indonesia sesuai dengan pasal 33 UUD-45. Juga pada akhir PD-II itu ada perusahaan gabungan BPM-pemerintah kolonial NIAM, juga dinasionalisasi menjadi PN Permindo yang kemudian jadi Pertamin. Jawa Barat Utara diambil alih dari BPM menjadi PN Permigan.
:-( “Wah Pakdhe, ada kepentingan politik juga ya sejak awal kemerdekaan?”
:-D “Thole dalam setiap pemerintahan selalu saja ada kecenderungan berkelompok dengan negara-negara lain yang memiliki paham yang sama untuk bergabung ‘saling menguntngkan’. Jadi saat itu ‘dipilih’ untuk merebut Papua”
Production Sharing Contract. (awal PSC)
Nah, waktu itu Ibnu Sutowo / tentara mengusai daerah minyak Sumatra Utara, yang tidak sempat diambil kembali oleh BPM/Shell dan membentuk PN Permina. Disini sebetulnya kelihaian dia, dia sadar bahwa untuk explorasi dan produksi itu memerlukan SDM, modal dan teknologi yang jelas Indonesia tidak mempunyai (ahli teknik dan ahli geologi Indonesia saja yang ada pada waktu itu bisa dihitung dengan jari, termasuk saya). Pada tahun 60-an dia menemukan konsep yang didukung seorang jenderal dari Canada yang mempunyai perusahaan minyakbumi independent Asamera, yaitu production sharing contract.
Dalam production sharing contract ini Kuasa Pertambangan tetap dipegang Permina, dan Asamera menjadi sekadar kontraktor untuk mencari dan memproduksikan minyak di suatu wilayah kerja (daerah operasi) dengan split 50-50 dan semua biaya ditanggung kontraktor, jika tidak berhasil kontraktor tidak dapat penggantian apa2. Jelas Asamera hanya bersifat kontraktor, tidak boleh invesitasi apa2, semua perlengkapan begitu sampai di Indonesia menjadi milik Permina, juga kontraktor tidak boleh menklaim cadangan yang diketemukan sebagai assetnya, 50% saja tidak. Hanya jika minyakbumi itu sudah sampai ke permukaan maka Permina akan membayar kontraktor dengan minyak (in natura) sesuai dengan splitnya.
Semua tangki2, pipa dan instalasi produksi menjadi milik Permina. Kontraktor demikian yang dibayar dengan split sebetulnya sudah biasa pada umumnya dalam bidang enhanced recovery, dimana kontraktor minta dibayar dengan suatu split dari produksi. Dalam hal ini Asamera itu adalah kontraktor yang tidak jauh berbeda dengan Schlumberger. Dan dengan demikian pula urusan pembebasan tanah, fasilitas kantor dsb diberikan Permina.
Karena sifatnya kontraktor, maka boleh tidak berbadan hukum di luar Indonesia (tidak perlu PT). Ibnu Sutowo sudah lihat jauh kedepan dengan adanya konsep DMO, karena jelas harga minyak bumi di dalam negeri tidak bisa sama dengan harga minyak internasional, di mana contractor diwajibkan menjual hasil produksi minyaknya dengan harga yang jauh lebih rendah dari pasaran internasional (istilahnya sekarang mensubsidi pasaran dalam negeri).
Nah itu situasinya masih sebelum G30S, Stanvac dan Caltex masih ditoleransi sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Maka muncul ekonomi yang disentralisir (adanya Badan Perancangan Negara, dengan proyek2 industriliasi, al industri baja, industri pupusi dengan bantuan Uni Soviet).
Era Migas sebagai “penggerak” pembangunan
Perkembangan produksi migas dan hasil eksplorasi (penemuan migas) |
:-( “Pakdhe jadi waktu itu pengusahaan migas dengan sistem PSC dipuji ya ?”Di bidang pertambangan hal di atas tidak terjadi, dan pada zaman Orla tidak terjadi “investasi” asing dalam bidang ini. Pernah ada wacana supaya ada investasi. Baru pada pemerintah Orba Departemen Pertambangan membuat konsep Kontrak Karya (contract of works) untuk pertambangan yang saya tidak begitu faham isinya dan bedanya dengan sistim konsesi (5a Contract) sebelum perang dunia ke-2 (atau zaman kolonial), tetapi pada dasarnya adalah KP bisa didapatkan oleh pihak asing asal berdomisili di Indonesia. Dalam hal ini perusahaan harus memberikan royalti kepada pemerintah (sebaliknya dengan production contractor yang dibayar oleh Permina). Maka kontrak karya itu diberlakukan untuk PT Caltex Pacific Indonesia dan PT Stanvac Indonesia sampai berakhirnya konsesi yang didapatkan sejak zaman Belanda, Maka dengan konsep kontrak karya ini maka diundang perusahaan pertambangan asing, seperti Inco, Freeport, Alcoa dan banyak lagi, dan sebagian berhasil seperti PT Inco, PT Freeport, PT Newmont dsb. Hal ini juga terjadi dalam bidang batubara. Di lain pihak Pertamina ditugaskan untuk menjamin persedian BBM dalam negeri, bukan sekedar mencari, memproduksikan dan memasarkan BBM saja,
:-D “Kesadaran manusia itu berkembang. Sesuatu yang dulu dianggap bagus bisa berubah karena kesadaran dan juga karena tuntutan jaman. Tapi bukan menyalahkan masa lalu, kan ?”
(Note: Gambar diatas memperlihatkan produksi meningkat ketika ada investasi)
Nah di zaman Suharto inilah terjadi secara berangsur liberalisasi dalam sistim perekonomian kita menuju ke free market economy di mana investor sangat didambakan untuk datang (zaman Sukarno tidak ada istilah investor asing, yang ada istilah imperialist kapitalist yang perlu diganyang), Pada permulaannya sistim sosialisme ini masih dipegang teguh dengan diangkatnya Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo (ayahanda Prabowo) seorang sosialis (pernah ketua Partai Sosialis Indonesia yang kemudian dibubarkan Sukarno) dan lulusan Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam (seperti juga Kwik Kian Gie) sebagai menteri perekonomian, dimana pada waktu itu masa suburnya BUMN yang berbentuk PN (yang kemudian dianggap gagal karena dianggap merupakan sarang korupsi) dan masih adanya Perencanaan Ekonomi Terpusat yang disebut Bapenas. Kemudian mulailah perekonomian dikembangkan oleh yang disebut Berkeley Mafia yang sampai sekarang masih berlanjut.
:-( “Looh Pakdhe, katanya pemimpin yang sekarang merakyat kan mestinya lebih membela rakyat bukan investor kan. Lah mosok sekarang malah jadi kapitalis ?”Juga dalam industri migas terjadi perubahan dalam konsep PSC ini secara pelahan2, berubahnya istilah contractor menjadi operator kemudian partner dan juga terms of contractnya, ada cost recovery (menurut Pak Ong sih dari zaman Ibnu Sutowo juga sudah ada), uplift dan macam2, sehingga lebih mendekati konsesi lagi.
:-D “Hust yang sedang terjadi sekarang itu ranah politik, kalau nanti 40 tahun lagi yang kita alami sekarang hanya jadi sejarah”
Orde Reformasi
Tentu klimaksnya dari perubahan ini terjadi pada Reformasi dengan campur tanganya IMF, maka undang-undang Migas baru diganti, di mana Pertamina dijadikan PT dan bersifat PSC seperti perusahaan minyak asing lainnya dengan alasan regulator tidak bisa merangkap operator (padahal Pertamina itu tidak pernah jadi regulator tapi bouwheer bagi kontraktor), dan maka dibentuk BP Migas yang kemudian oleh MK dibubarkan tapi tetep bandel dan menjelma jadi SKK Migas
Nah pada zaman Reformasi ini UUD-45 banyak diamandemen, tapi dari segi politik saja, bahkan sebetulnya sudah jauh berbeda dengan UUD-45 yang aseli, tetapi UUD-45 itu dianggap sakral, tidak ada seorang politisi atau negarawanpun yang berani merombaknya total menjadi konstitusi baru.
Nah soal Pasal 33 itu yang tidak sempat dirobah, bahkan mungkin tidak perlu dirubah, tetapi penafsiran yang dilakukan MK-ini masih mengikuti jiwa dari UUD-45 sebagaimana dicetuskan para founding fathers ini yang didasarkan Pancasila yang mengandung unsur sosialisme, antara lain hal yang menyangkut hajat orang banyak. Masalahnya adalah soal istilah ‘dikuasai negara‘, apakah bisa dikuasakan lagi pada orang lain selain BUMN?
Sekarang ini NKRI sudah menganut freemarket economy atau liberal capitalism, di mana BUMN itu diharamkan dan harus diprivatisasi. Semua para ahli ekonomi kita sudah menganut liberal capitalism. Juga RRC sudah memadukan dengan komunisme menjadi State Capitalism.
Itulah sedikit ulasan mengenai sejarah dari Pak Koesoema. Kita memang melihat masa lalu tidak untuk menyalahkan tetapi untuk memahami masa kini. Semoga kita bisa mengerti dan dapat “belajar” dari masa lalu, bukan menyalahkan masa lalu.