Rasanya perbincangan kita tentang rapat tidak akan lengkap tanpa membahas masalah yang satu ini. Apa yang harus kita lakukan seandainya tidak menyetujui hasil rapat? Bagaimana "mengelola" ketidaksetujuan itu?
Kenyataan seperti ini akan selalu kita temukan dalam perjalanan organisasi kita. Dan itu lumrah saja. Karena, merupakan implikasi dari fakta yang lebih besar, yaitu adanya perbedaan pendapat yang menjadi ciri kehidupan majemuk.
Kita semua hadir dan berpartisipasi dalam organisasi ini dengan latar belakang sosial dan keluarga yang berbeda, tingkat pengetahuan yang berbeda, tingkat kematangan yang berbeda.
Di sinilah kita memperoleh "pengalaman keikhlasan" yang baru. Tunduk dan patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Dan, taat dalam keadaan terpaksa bukanlah pekerjaan mudah. Itulah cobaan keikhlasan yang paling berat di sepanjang jalan perjuangan dan dalam keseluruhan pengalaman organisasi kita sebagai pengurus. Banyak yang berguguran dari jalan perjuangan, salah satunya karena mereka gagal mengelola ketidaksetujuannya terhadap hasil rapat.
Jadi, apa yang harus kita lakukan seandainya suatu saat kita menjalani "pengalaman keikhlasan" seperti itu? Pertama, marilah kita bertanya kembali kepada diri kita, apakah pendapat kita telah terbentuk melalui suatu "upaya ilmiah" seperti kajian perenungan, pengalaman lapangan yang mendalam sehingga kita punya landasan yang kuat untuk mempertahankannya? Kita harus membedakan secara ketat antara pendapat yang lahir dari proses ilmiah yang sistematis dengan pendapat yang sebenarnya merupakan sekedar "lintasan pikiran" yang muncul dalam benak kita selama rapat berlangsung.
Seandainya pendapat kita hanya sekedar lintasan pikiran, sebaiknya hindari untuk berpendapat atau hanya untuk sekedar berbicara dalam rapat. Itu kebiasaan yang buruk dalam rapat. Namun, ngotot atas dasar lintasan pikiran adalah kebiasaan yang jauh lebih buruk. Alangkah menyedihkannya menyaksikan para pengurus yang ngotot mempertahankan pendapatnya tanpa landasan ilmiah yang kokoh.
Tapi, seandainya pendapat kita terbangun melalui proses ilmiah yang intens dan sistematis, mari kita belajar rendah hati. Karena, kaidah yang diwariskan oleh petuah orang bijak kepada kita mengatakan, "Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka memang salah, tapi mungkin benar."
Kedua, marilah kita bertanya secara jujur kepada diri kita sendiri, apakah pendapat yang kita bela itu merupakan "kebenaran objektif" atau sebenarnya ada "obsesi jiwa" tertentu di dalam diri kita, yang kita sadari atau tidak kita sadari, mendorong kita untuk "ngotot"? Misalnya, ketika kita merasakan perbedaan pendapat sebagai suatu persaingan. Sehingga, ketika pendapat kita ditolak, kita merasakannya sebagai kekalahan. Jadi, yang kita bela adalah "obsesi jiwa" kita. Bukan kebenaran objektif, walaupun —karena faktor setan— kita mengatakannya demikian.
Bila yang kita bela memang obsesi jiwa, kita harus segera berhenti memenangkan gengsi dan hawa nafsu. Sebab, itu adalah jebakan setan yang boleh jadi akan mengantar kita kepada pembangkangan dan kemaksiatan. Tapi, seandainya yang kita bela adalah kebenaran objektif dan yakin bahwa kita terbebas dari segala bentuk obsesi jiwa semacam itu, kita harus yakin, rapat pun membela hal yang sama. Sebab, berlaku kaidah umum, "Forum tidak akan bersepakat atas suatu keburukan." Dengan begitu kita menjadi lega dan tidak perlu ngotot mempertahankan pendapat pribadi kita.
Ketiga, seandainya kita tetap percaya bahwa pendapat kita lebih benar dan pendapat umum yang kemudian menjadi keputusan rapat lebih lemah atau bahkan pilihan yang salah, hendaklah kita percaya mempertahankan kesatuan dan keutuhan organisasi/jamaah jauh lebih utama dan lebih penting dari pada sekadar memenangkan sebuah pendapat yang boleh jadi memang lebih benar. Karena, berkah dan pertolongan hanya turun kepada organisasi/jamaah yang bersatu padu dan utuh.
Seandainya kemudian pilihan rapat itu memang terbukti salah, dengan kesatuan dan keutuhan organisasi/jamaah, Sekiranya Tuhan akan mengurangi dampak negatif dari kesalahan itu. Baik dengan mengurangi tingkat resikonya atau menciptakan kesadaran kolektif yang baru yang mungkin tidak akan pernah tercapai tanpa pengalaman salah seperti itu. Bisa juga berupa mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga muncul situasi baru yang memungkinkan pilihan rapat itu ditinggalkan dengan cara yang logis, tepat waktu, dan tanpa resiko.
Dengan begitu, hati kita menjadi lapang menerima pilihan rapat karena hikmah tertentu yang mungkin hanya akan muncul setelah berlalunya waktu. Dan, alangkah tepatnya sang waktu mengajarkan kita panorama hikmah Ilahi di sepanjang pengalaman perjuamgan kita.
Keempat, sesungguhnya dalam ketidaksetujuan itu kita belajar tentang begitu banyak makna: tentang makna keikhlasan yang tidak terbatas, tentang makna membersihkan dari hawa nafsu, tentang makna ukhuwwah dan persatuan, tentang makna kerendahan hati, tentang cara menempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berorganisasi, tentang cara kita memandang diri kita dan orang lain secara tepat, tentang makna tradisi ilmiah yang kokoh dan kelapangan dada yang tidak terbatas, tentang makna kepercayaan kepada organisasi/jamaah.
Jangan pernah merasa lebih besar dari organisasi/jamaah atau merasa lebih cerdas dari kebanyakan orang. Tapi, kita harus memperkokoh tradisi ilmiah kita. Memperkokoh tradisi pemikiran dan perenungan yang mendalam. Dan pada waktu yang sama, memperkuat daya tampung hati kita terhadap beban perbedaan, memperkokoh kelapangan dada kita, dan kerendahan hati terhadap begitu banyak ilmu dan rahasia serta hikmah Ilahiyah. yang mungkin belum tampak di depan kita atau tersembunyi di hari-hari yang akan datang.
Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berorganisasi. Mereka yang tidak bisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan: apakah kita matang dalam berorganisasi atau tidak. ***
*diambil dari buku Anis Matta: 'Menikmati Demokrasi' (cetakan 1, Juli 2002) - dengan redaksi yang disesuaikan
sumber: www.pkspiyungan.org